Sudah
cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara perkembangan
intelektual dan emosional remaja di sekolah menegah (SLTP/ SLTA).
Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui
berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di
sekolah. Mereka telah dibanjiri berbagai informasi,
pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media
massa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang.
Dari
segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik
sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah tampak dewasa, tetapi
mempuyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi remaja
yang demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan
masalah membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang
berkembang begitu cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di
masa remaja mereka dulu.
Masalah
Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu
mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk
perilaku. Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para
remaja di sekolah.
1. Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih
dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang
lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat
dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan
dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai
aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku
bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan
pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung
pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang
menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya
tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja
mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia
tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan
tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab
behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu
menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh
keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa
mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan
melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah
pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara
perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya
cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan
yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak
bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang
tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia
memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah
(reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang
remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia
memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non
verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan
mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga
dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder
yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur
permusuhan yang akan merugikan orang lain.
5. Attention Deficit Hyperactivity disorder,
yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat
menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol
dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya
mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat
berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja
yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain
itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang
dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan
temannya.
Peranan
Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh remaja
sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat, barangkali
baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak
harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak
tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang
seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga,
misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak
keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan
menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya
keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya
kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan
kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di
sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh
yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang
adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua
ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses
perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja
adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang
dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada
saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual.
Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan
kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi
pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan
pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak.
Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah
merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi
oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang
berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu
tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya,
anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang
lain.
Keempat,
bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang
proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak.
Akhir-akhir
ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada
para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga
dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan,
kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang
anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak
menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan
yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang
menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Kelima,
bagaimana pengaruh tayangan media massa baik media cetak maupun
elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh
berbagai kebrutalan.
Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja,
gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang
hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap
tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu
identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau
pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga
(hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa
tujuan jelas.
Apa Jalan Keluar Kita?
Siswa-siswi
SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan usia remaja,
usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di
masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari
ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian
kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa hal kunci yang
bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Sikap
mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat
dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para
remaja. Dalam hati sanubari para remaja tersimpan kebutuhan akan
nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi
sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam
keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak
memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap
monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu
membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda
dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat.
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus.
Dewasa
ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka
sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu
sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak
berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap
sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak
dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati.
Ada
begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai
anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri
menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna.
“Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang
merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di sekolah dan di
masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya.
Yang
perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan
dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang
pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang
dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa
aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan
usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta
yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan
rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan
pendapatnya.
Lewat
kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun
lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan merasa
terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan
tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang
mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar
merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang
sebenarnya.
MEMAHAMI DIRI Materi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Who am I (siapakah saya)?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka sangat dibutuhkan adanya refleksi
yang mendalam, kontemplasi diri yang total, dan definisi yang obyektif.
Saya hanyalah pesiarah yang mencari kesempurnaan hidup Kesiarahan saya
masih sangat jauh. Relung-relung idealisme dan lentingan-lentingan
kenyataan, masih terus menghantui perjalanan hidup saya. entah kapan
kehausan akan kesempurnaan itu saya nikmati. Bisingnya dunia dan
garangnya bumi, meliluhlantahkan kehausan tersebut. Ternyata saya terus
menikmatinya, walau aku selalu bertanya” apa yang harus saya cari”
Mungkin pesiarahan itu akan berakhir pada saat saya mendesah. Entahlah,
lalu, siapakah manusia it? Siapakan saya? siapakah engkau? Aku adalah
diriku sendiri Aku hidup dan bernafas Aku berpikir dan merasa Aku
mencinta dan merasa takut Aku berharap dan benilai Aku bertumbuh dan
berubah Aku lama kelamaan menjadi A K U. Diri kita adalah samudra penuh
rahasia Yang manti untuk dijelajahi Kita adalah makhluk hidup yang unik
Yang merenungkan asal-usul kita Dan berikhtiar merencanakan masa depan .
dst