8/22/2012

Menjadi kewajiban bagi kita untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarga.

“MENCARI REJEKI HALAL”

       Menjadi kewajiban bagi kita untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Upaya yang ditempuh tiap orang tidaklah sama. Kadang diperlukan upaya kerja keras  dan bersusah payah akan tetapi tak jarang pula orang menggunakan cara-cara yang hina dan haram.

         Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
 
Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)
Permasalahan kemudian muncul , seberapa halalkah rejeki yang Anda terima? Tentu sangat amat disayangkan bila hasil susah payah kita ternyata menghasilkan rejeki yang tidak halal. Bisa jadi sebagian kecil  rejeki yang tidak halal bercampur dengan rejeki lainnya yang halal.
Berbicara mengenai halal-haram rejeki yang kita terima bagaikan jalan tanpa ujung, tidak ada titik temu.  Masing-masing orang  memiliki dasar dan argumen  masing-masing. Masing-masing dengan dilandasi pola pikir yang berbeda yang lebih banyak didasarkan pada kebutuhan duniawi. Kebutuhan duniawi yang diwujudkan dalam gaya hidup. Gaya hidup yang ada seolah menjadi prioritas utama tidak peduli halal atau haramnya rejeki yang diterima. Dengan dalih “kebutuhan hidup” yang pada kenyataannya justru merupakan “gaya hidup”. Gaya hidup yang lebih mengedepankan “rasa tidak ingin dipermalukan bila dianggap ketinggalan jaman”. Seolah tidak peduli hari ini atau besok makan apa tetapi yang penting penampilan. Istilah “gaul” seakan menjadi kebutuhan pokok mengalahkan kebutuhan pokok yang sebenarnya.
         Budaya lama yang sudah terjadi bertahun-tahun yang notabene menghalalkan yang haram seolah sudah menjadi hal yang sangat biasa atau lumrah untuk dilakukan. Belum lagi yang dianggap “abu-abu” atau samar, orang sudah memandang sebagai sesuatu yang halal. Singkatnya yang harampun dianggap halal bila itu sudah lumrah terjadi. Budaya itupun terjadi secara berkelanjutan diikuti oleh generasi-generasi berikutnya.
Simak  hadist berikut :
 
Orang yang mengharamkan sesuatu yang halal serupa dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram. (HR. Asysyihaab)
 
       Seseorang yang semula kukuhpun karena “mau-tak mau”  hidup lama dalam “ekosistem” itupun kemudian  “luluh dan tenggelam” dan akhirnya” menikmati”.
Sadarkah Anda bila hal seperti ini tengah terjadi dilingkungan sekitar kita ? Layakkah kita untuk ikut  hanyut  dalam budaya seperti ini?
Suatu kewajiban bagi kita untuk mencari rejek yang halal :
 
Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
 
Simak juga hadis berikut :
 
Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
 
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: “Apabila aku shalat semua yang fardhu (yang wajib / shalat lima waktu) dan puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dan tidak lebih dari itu, apakah aku bisa masuk surga?” Nabi Saw menjawab, “Ya.” (HR. Muslim)
 
          Akhirnya kembali pada diri masing-masing untuk menilai seberapa halalkah rejeki yang diterima, kemudian untuk apa rejeki kita gunakan….. sekedar pemenuhan “gaya hidup” dengan mengabaikan “kebutuhan hidup”…… atau untuk memenuhi  “hidup yang sesungguhnya”.
 
Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya. (HR. Ath-Thabrani) 
 
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء : يا رب يا رب ! و مطعمه حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام و غذي بالحرام فأنى يستجاب لذلك (رواه مسلم
 
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap, “Ya Tuhan. Ya Tuhan”. Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi barang yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan? (HR Muslim).
 
       Mencari rejeki adalah kewajiban……dan menjadi kewajiban pula untuk mencari rejeki yang 100% halal karena rejeki itu dinikmati keluarga kita…. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar